Wahai Warganet yang Maha Benar tapi Gak Sopan

Ajining diri ana ing jempolmu.

Warganet area +62 dapat sasaran empuk baru buat senam jari. Tak lain tak bukan adalah meramaikan akun media sosial Microsoft yang bilang bahwa Indonesia paling gak sopan se-Asia Tenggara untuk urusan digital. Saya sengaja pilih kata ‘meramaikan’ bukan ‘menyerang’, biar lebih sopan.

Menurut risetnya Microsoft, kesopanan warganet Indonesia ini ada di posisi 5 terbawah, alias peringkat 29 dari 32 negara yang di survei dalam Digital Civility Index (DCI). Urutan dari paling bawah menurut skor adalah Afrika Selatan (nilai 81), Rusia (80), Meksiko (76), Indonesia (76), dan Peru (74). Iya, nilai Indonesia dan Meksiko sama. DCI ini pakai sistem penilaian yang kalau makin besar, artinya tingkat kesopanan itu paling rendah. Sebenarnya, Peru juga punya ‘kembaran’ nilai 74, yaitu Swedia. Tapi yaudahlah, kan dia jadinya nomor 6 dari bawah. Kurang catchy gitu kalau 6.

Di puncak klasemen ternyata adalah tim oranye Belanda, nilainya 51. Nomor 2 itu Inggris, disusul Amerika Serikat. Nomor 4 adalah Singapura, yang sekaligus jadi nomor wahid kalau di wilayah Asia Tenggara. Hanya 6 negara Asia Tenggara yang disurvei. Selain Singapura dan Indonesia, ada Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. 

Di Indonesia, survei DCI melibatkan 503 orang pada 2020, untuk laporan yang rilis tahun 2021 ini. Apa sih yang disurvei? Antara lain online bullying. He-eh komentar-komentar pedas di medsos kamu itu lho. Ada juga pengalaman dikontak online tanpa izin. Ini termasuk ada yang tiba-tiba DM atau WA nawarin ngutang atau sewa apartemen gak ya Microsoft? Hei mba-mba sama mas-mas marketing, kalian tuh lho intruder privasi orangDapet nomer dari mana pula, eh?!

Sabar, sabar. Diblok aja udah. Aman.

Dan, ngeblok ini ternyata jadi strategi paling populer yang dilakukan responden DCI. Ya mungkin kita semua iya gak sih? Gampangnya, lo gue end. Versi puitis ala William Shakespeare, I do desire we may be better strangers. (*kutipan indah: checked)

Jadi, penyebabnya sebenarnya apa? Apa karena memang warganet +62 udah lepas urat santunnya gitu? Atau memang pada dasarnya julid aja?

Kalau urusan fundamental dan filosofis begini, saya serahkan pada ahlinya saja. Katanya Isaac Newton sih, “Jika saya bisa memandang lebih jauh, itu karena saya berdiri di atas bahu para raksasa.” Bahkan ilmuwan terkenal pun nyadar kalau ide mereka bisa berkembang karena ada ide-ide dari para pendahulu. (*kutipan kedua: checked) (*semoga tulisan ini menginspirasi) 

Nah, balik lagi ke isu keberadaban warganet +62. Dari sumber terpercaya dari situs pemerintah, salah satu isu penting dalam perkembangan dunia digital di Indonesia adalah literasi. Ini tak kasih link dari Kominfo. Literasi digital tidak hanya berarti kemampuan menggunakan teknologi, tapi pada etika penggunaan media sosial secara benar dan bermartabat. Ini juga ada tautannya dari Kemendikbud buat definisi literasi digital. 

Menurut Kominfo, literasi digital Indonesia masih berada di taraf sedang. Indeks literasi digital Indonesia itu di angka 3,47 dari skala 4. Mirip IPK euy, kasihan tapi, masih kurang buat cum laude

Kalau menurut IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020, Indonesia itu ada di ranking 56 dari 63 negara. Boleh kan ya bandingin data, biar banyak sumber informasi gitu. Tapi, kok itu sepertinya jauh dari kata sedang ya? Tapi gakpapa lah, intinya kan sama Indonesia masih kurang kalau soal digital.

Digital Competitiveness ini mencakup 3 faktor, yaitu knowledgetechnology, dan future readiness. Digital Competitiveness ini ngasih disclaimer juga bahwa untuk memahami masing-masing negara perlu juga pemahaman atas tahapan pembangunan, batasan politik, dan sistem nilai sosial. Si nomor satu dalam daya saing digital adalah Amerika Serikat, disusul Singapura, Denmark, dan Swedia. 

Wah klop ini. Cocoklogi bisa dimainkan. Mungkin ada korelasi kuat antara literasi dan daya saing digital dengan indeks kesopanan atau keberadaban ini. Amerika Serikat yang paling melek digital itu peringkat ketiga sedunia dalam hal kesopanan. Singapura dengan daya saing digital nomor dua sedunia, ternyata menurut DCI juga yang paling punya adab di Asia Tenggara. 

Tapi, saya tak tahan mau julidDari tadi sih

Kok kontras sekali ya Amerika Serikat dan Singapura. Satunya, jadi kiblat demokrasi liberal meski sempat kacau karena drama Capitol Hill Januari lalu. Satunya lagi, kalau cuma dilihat dari adanya pemilu, ya termasuk demokrasi. Tapi kalau dilihat dari kebebasan sipil dan kebebasan pers, lain cerita. Jadi, apa kesopanan Singaporeans di dunia digital itu sebenarnya karena ketidakbebasan beropini? Ya gak bisa dibandingin sama Indonesia lah! #proudIndonesians. Kan kita udah lewat itu fase turunin diktator sama bredel-bredel. Iya kan?

Gak usah naif deh, emang nusantaramu itu udah bener-bener demokratis? Pasti ada yang julid juga kek gitu. Oposisi aja gak punya kok ngaku demokrasi, check and balance-nya dimana? (*brb cek depan kosan kalau-kalau ada babang-babang lengan keker dorong gerobak nasi goreng)

(*udah balik dari depan, masih aman)

Atau ya mungkin karena memang perut tidak kenal ideologi. Dulu kata senior pas kuliah seperti itu. Jadi, faktor penentunya bukan demokratis atau otoriter. Mungkin masalah perut ini sejatinya adalah arti dari provision of public goods oleh negara. Lihat Singapura. Sejauh hak-hak hidup terpenuhi dengan baik oleh negara, ada akses-akses yang terjamin terhadap fasilitas mendasar, warganya juga baik-baik saja. Sopan-sopan dan penurut. Buat apa bisa beropini bebas kalau bisa diem aja tapi kebutuhan sudah terjamin ada?

Itu sarkastis. Hehe.

Tapi, intinya begini. Ilmu perbandingan itu tidak sederhana. Membandingkan kalau sebatas kopi dan teh itu ya percuma. Sudah jelas-jelas beda. Membandingkan itu misalnya, kopi yang ditanam di daerah Gunung Puntang oleh Petani X dan Petani Y. Jadi, perbandingan itu akan memberikan tilikan atau pemahaman baru kalau yang dibandingkan memiliki unsur-unsur yang menyerupai. Membandingkan Indonesia dan Singapore, IMHO, itu gak apple to apple.

Kedua, makin ke sini saya makin berpikir kaitan sangat erat antara demokrasi dan penyediaan barang publik. Barang publik (public goods) yang dimaksud tentunya yang terkait dengan hal-hal yang seharusnya disediakan oleh negara, seperti pendidikan, air bersih, udara bersih, keamanan, dst. Kenapa negara? Karena public goods itu mahal, hanya institusi yang tidak berorientasi profit yang bisa menyediakan. Dalam hal ini, negara. Sayangnya, dibeberapa kasus,  penyediaan barang publik ini kadang 'ditukar' dengan hak mendasar yang patutnya diperoleh seorang warga negara.

Sik sik, sepertinya ada yang gak sinkron dari tulisan ini. *scroll up, scroll down

(*cek-cek ulang fakta. Hmmmm DCI paragraf kedua, posisi bontot AfSel, Rusia, Meksiko, Indonesia, Peru. Ada nomer 6 Swedia, biarin deh. DCI paragraf keempat, dari paling tinggi Belanda, Inggris, Amrik, Singapur. Digital Competitiveness Indonesia di bawah juga. Paling tinggi Amrik, Singapura, Denmark, dan Swedia. Bener kokurutannya.)

Eh, Swedia! Swedia! (*heboh sendiri khas warganet) 

Swedia yang bikin artikel gak sinkron. Daya saing digital Swedia itu nomor 4 sedunia. Tapi masuk paling gak ada adab di antara 32 negara dan paling gak sopan di antara negara-negara Eropa. Hadeh, udah panjang-panjang mengamini kalau ada kaitan sopan enggaknya warganet itu mungkin ada hubungannya sama literasi dan daya saing digital. Eh ternyata ada yang anomali. Eh tapi, bentar (*brb googling). Freedom index-nya Swedia bagus banget ternyata. 100% free. Bunyi penjelasan indeksnya, kebebasan sipil dan hak politik terjamin dan dihormati serta hukum ditegakkan. 

Jadi, ada yang demokratis, literasi dan daya saing digital bagus, warganetnya civilised (misal AS). Ada yang setengah atau gak demokratis tapi literasi dan daya saing digital bagus, warganetnya juga beradab (misal Singapura). Trus, ada yang demokratis, literasi dan daya saing digital bagus, warganetnya paling gak sopan se-Eropa (misal Swedia). Ada yang setengah demokratis, literasi dan daya saing digital pas-pasan hampir paling bontot, warganetnya paling gak beradab (misal Indonesia). 

Macam-macam ternyata kasusnya. Yasudahlah. Ini belum bisa diambil kesimpulan. Yang gampang aja lah, ya kalau gak mau dibilang gak sopan, kurang-kurangin lah itu bully-bully orang. Kenal aja enggak, cuma lihat postingan di Instagram. Kurang-kurangin juga itu ala-ala dark jokes, tapi pas kena umpan balik malah ngambek mutus tali silaturahmi. Ajining diri ana ing lathi jempolmu lho.


Comments

Popular Posts