Karier

Apa definisimu tentang karier?
Lewat tengah malam waktu bus yang saya tumpangi sampai di Terminal Ubung, Denpasar. Raut lega tampak jelas di wajah dua penumpang lain di bus itu dan tentunya mereka melihat yang sama di muka lelah saya. Maklum, hampir dua jam lamanya kami panik dalam diam dan hanya bisa saling pandang di dalam bus yang dikemudikan kondektur melalui jalanan gelap dan sepi dari Pelabuhan Padang Bai ke Denpasar. Sopir resmi bus itu memutuskan memberikan pelajaran menyetir kepada kondekturnya yang sepertinya masih usia sekolah. Ya, bisa dibayangkan perasaan kami ketika seringkali bis tiba-tiba mengerem mendadak atau sedikit oleng ke kanan dan kiri karena pemegang kemudi adalah anak magang.
Namun, kelegaan kami berbanding terbalik dengan wajah-wajah penunggu terminal. Merekalah para calo tiket yang tampak agak kecewa karena hanya mendapati tiga penumpang. Beberapa calo masih mencoba peruntungan mendekati kami yang selepas turun dari bus menyempatkan diri saling mengucapkan sampai jumpa.
Salah satu calo menghampiri saya, mencoba peruntungan rezeki dini hari itu. Saya tidak punya banyak pilihan tapi satu tujuan; secepatnya mendapat kendaraan menuju Pelabuhan Gilimanuk agar tidak ketinggalan penyeberangan pertama pagi itu ke Ketapang, Banyuwangi. Tawar-menawar sebentar, saya relakan juga beberapa puluh ribu rupiah ekstra dari harga normal.
Saya paling tidak suka menunggu. Apalagi ini menunggu di terminal, dini hari pula. Artinya, saya harus terjaga menahan kantuk demi keamanan pribadi. Sembari menunggu, obrolan dengan Si Calo tiket mengalir. Dan, sampai di satu titik dia mulai curhat.
“Saya baru putus dari pacar saya, Mbak,” kata Si Calo.
Mendengar pernyataan semacam ini, saya secara otomatis pasang tampang polos dan menimpali dengan nada datar. Ini adalah satu resep yang saya gunakan selama bertahun-tahun menjadi pewarta. Tujuannya satu, agar lawan bicara tidak merasa saya yang sebenarnya orang asing dan baru dikenal terlalu intimidatif atau kepo yang akhirnya membuat dia batal bercerita lebih jauh.
“Kenapa?” tanya saya.
“Dia mau ke luar negeri, ke Arab?” jawabnya.
Ngapain di Arab?” balas saya. Saya 99% paham mengapa, tapi ingin mendapat alasan yang langsung diucapkan lawan bicara dan bukan yang saya simpulkan.
“Kerja lah, dia mau ngejar karier. KARIER jadi TKI,” jawab Si Calo, yang kemudian tertawa kalut. Nada suaranya agak tinggi tapi sangat jelas menunjukkan kekecewaan dan patah hati, bukan sebuah bentakan.
Jika ada kamera slow motion atau seorang pembaca ekspresi mikro, beberapa detik kegamangan di wajah saya pasti akan terlalu sayang untuk dilewatkan. Saya kaget dan bingung. Bukan soal ada orang yang pergi ke Arab Saudi untuk menjadi TKI, tapi anggapan bahwa menjadi TKI adalah sebuah karier.
Saya miris, apa bisa disebut karier jika nyawa jadi taruhan demi mendapat pekerjaan domestik di negeri orang? Bagi saya, berbagai kasus yang menimpa pekerja Indonesia di luar negeri terlalu mengerikan untuk menganggap mereka sedang memperjuangkan sebuah karier.
Percakapan di kepala saya tidak berhenti di sesi curhat Si Calo.
Saya tidak percaya pada kebetulan. Tapi nyatanya, bus yang saya tumpangi dari Ubung menuju Gilimanuk dini hari itu berisi para calon TKI. Semuanya perempuan. Saya tentunya tidak menyadari ini di awal naik bus karena kondisi gelap dini hari dan semua penumpang tertidur. Saya baru tahu menjelang siang hari ketika bus sudah mulai meninggalkan daerah Banyuwangi.
Dari tulisan trayek yang ditempel di kaca, saya tahu bus itu berangkat dari Sumbawa dan akan menuju Jakarta. Saya penumpang yang akan turun di Surabaya. Di tengah perjalanan Banyuwangi-Surabaya inilah bis berhenti di sebuah rumah makan.
Memasuki gerbang rumah makan, para penumpang mulai berisik, saling bertanya apa yang akan mereka lakukan lebih dulu; makan siang atau mandi, siapa yang lebih dulu agar bisa saling menjaga barang di luar, berganti baju atau tidak, dan seterusnya. Sepertinya wajar karena mereka sudah dua hari berada di dalam bus dan tiga kali menyeberang laut; Sumbawa-Lombok, Lombok-Bali, Bali-Banyuwangi. Saya tentunya memilih langsung menuju ruang makan karena memang sudah lapar dan saat itu saya memang perlu sedikit menghindar dari terkena terlalu banyak air dan sabun. Maklum, kulit wajah saya masih memerah di banyak bagian akibat kepanasan waktu snorkeling hari sebelumnya.
Waktu makan, saya duduk dekat dengan seorang perempuan yang memilih makan dulu baru kemudian akan mandi. Lelah perjalanan membuat saya sebenarnya enggan untuk berinteraksi dengan orang. Tapi, monolog di kepala saya sudah kelewat batas.
“Ini semua satu rombongan ya?” tanya saya ke perempuan itu, saat mendapati pandangan matanya sedang diarahkan ke saya.
“Iya, kami dari Bima, Sumbawa,” jawabnya pelan, malu-malu, nyaris tidak terdengar dan lebih saya pahami bukan dari suara tapi gerakan bibir.
“Mau ke mana?” lanjut saya.
“Ini ke Saudi. Tapi nanti tinggal di Jakarta dulu,” jawabnya sambil menunduk dan tersenyum tipis.
Sekilas saya melihat perempuan ini menggenggam sendok dan garpunya lebih kencang dari beberapa detik sebelumnya. Bagi saya ini adalah gambaran keraguannya melakukan sesuatu, namun dia menguatkan diri sendiri untuk terus maju dan berharap.
“Kapan berangkat ke Saudi?” lanjut saya lagi. Lawan bicara saya hanya sanggup menggeleng.
Percakapan yang terjadi di meja seberang sampai di telinga saya. Bukan menguping, tapi jarak antar kursi dan meja cukup dekat untuk saya bisa menangkap suara mereka yang tidak pelan.
“Ya kan nanti bisa terus telepon. Kita juga berkarier. Tidak apa jauh-jauh sebentar sama laki, bisa tetap komunikasi,” ujar salah satu perempuan meja seberang kepada temannya.
Saya kembali termenung. Dalam pemahaman saya, banyaknya orang Indonesia, terutama dari daerah, menjadi TKI itu adalah sebuah keterpaksaan karena tidak ada lapangan pekerjaan yang bisa menampung seluruh penduduk usia kerja di negeri ini. Bagi saya, mereka akhirnya menjadi TKI adalah karena timpangnya akses terhadap pendidikan dan infrastruktur penopang kegiatan ekonomi. Rendahnya tingkat pendidikan membuat mereka tidak memiliki keahlian untuk mendapat pekerjaan yang layak di negeri sendiri. Bagi saya, banyak yang memilih jadi TKI karena iming-iming pendapatan besar di luar negeri. Uang yang nantinya bisa digunakan untuk membangun rumah, membiayai sekolah anak, dan entah apa lagi.
Tapi karier?
Monolog di kepala saya makin jauh dan tidak berujung. Bahkan hingga tulisan ini dibuat. Saya masih tidak paham orang bisa menyebut sebuah risiko berada di negeri orang, bekerja di sektor informal, seringkali mempertaruhkan nyawa dan masih menyebutnya karier. Tentu saja banyak WNI yang bekerja di luar negeri. TKI-TKI juga. Tapi setidaknya mereka lebih terlindungi dan punya akses lebih baik terhadap bantuan jika ada masalah terjadi.

Sesuatu di kepala saya mengajak berpikir, “Lalu, apa arti karier buatmu?” 
Entahlah. Saya pernah berujar pada seseorang waktu akan melakukan suatu pekerjaan, “I don’t work for money. I do this just because I have to and I think I can. There is a saying ‘if you knew you could do something but you didn’t and then something bad happened, it was because of you’”.

Comments

Popular Posts