Misi Beijing

(Ini cerita lama, cerita yang saya tulis di pertengahan akhir 2014. Namun, belum pernah sempat terdokumentasi dengan baik.) 
Singkatnya, saya mampir ke Beijing pada September 2014. Tujuannya tidak lain tidak bukan dolan ke Tiananmen Square, Forbidden City dan Great Wall. Sendiri. 
Modal terbatas, waktu terbatas karena hanya mampir. Bermodal rute dari internet, rencana perjalanan beserta estimasi anggaran dan akomodasi tersusun rapi. 
Saya menginap di sebuah hotel di Beijing yang sangat dekat dengan Tiananmen Square dan Forbidden City. Dua lokasi wisata yang berada di satu kompleks ini bisa kucapai dengan berjalan kaki.
Jam 7.30 pagi, saya sudah siap dengan perjalanan hari itu. Hujan rintik-rintik, tapi payung sudah di tangan. Uji kenekatan pun dimulai. Saya sadar jalan-jalan sendiri di negeri ini akan cukup sulit terutama karena tidak banyak orang yang bisa berbahasa Inggris dan petunjuk jalan ditulis dalam huruf Kanji. Tak apa. Tokyo dan Seoul sudah pernah, Beijing tidak akan lebih sulit.
Di lobi hotel, saya sempatkan menyapa resepsionis dan bertanya terutama mengenai arah menuju salah satu bagian Great Wall yang disebut Mutianyu. Dari sekian banyak bagian yang bisa dikunjungi turis, saya memilih Mutianyu karena relatif sepi dan sepertinya tidak terlalu jauh dari ibukota.
Si resepsionis sepertinya agak kaget dengan rencana saya. Namun, dia berbaik hati menuliskan beberapa kalimat dengan huruf kanji di selembar kertas kecil. Dia bilang saya tinggal menunjukkan kertas itu ke orang jika saya kesulitan arah.
Hanya perlu beberapa menit bagi saya untuk sampai ke kompleks Tiananmen Square. Saya mencari  gerbang masuk. Saya ikut mengantre dengan sekumpulan orang di dekat sebuat gerbang. Ketika tepat di depan gerbang, petugas bertanya –dalam bahasa China- yang tentunya tak saya pahami. Tapi, mudac saya menyimpulkan dia bertanya tujuan. Saya membalas dengan mnunjukan sebuah peta wisata dan menunjuk Tiananmen Square. 
Si petugas ini mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin –yang tentunya tak saya pahami. Kemudian dia menunjuk ke arah belakang antrean. Saya pun bertanya –dalam bahasa Inggris- “Tadi saya sudah mengantre. Kenapa disuruh antre lagi”. Dia hanya terus menunjuk ke bagian belakang. 
Baiklah, aku antre lagi. Waktu sudah sampai di depan, dia memarahiku dan mendorongku ke samping. Tak sopan. Dia kembali menunjuk ke arah belakang.
Saya legal. Namun, otak masih berakal. Saya melihat sebuah kantor agen wisata kecil. Saya cukup yakin setidaknya ada seseorang yang bisa berbahasa Inggris di sana. Ada! Dia pun menjelaskan bahwa gerbang tadi tidak menuju Tiananmen Square atau Forbidden City. 
Dia tunjukkan jalan. Oke, itu memang searah telunjuk si petugas tadi. Oh, jadi itu maksud dia menunjuk ke belakang. Baiklah. 
Seperti ancer-ancer  penjaga kantor agen wisata, saya  berjalan lurus hingga menemukan foto besar Mao Ze Dong. Di simulan gerbang masuk  ke Tiananmen Square. Misi pertama berhasil.
Cukup banyak orang yang berkunjung hari itu, bahkan pada saat hujan rintik-rintik. Tak pelak, waktu mengambil foto, tidak hanya satu-dua payung yang terpaksa ikut masuk frame.
Setelah sedikit praktek bahasa Tarzan untuk meminta orang lokal yang juga sedang berkunjung memotretku di depan foto besar Ketua Mao, saya menyusuri rute menuju Forbidden City. Memasuki Kota Terlarang ini, yang merupakan pusat kekuasaan kaisar-kaisar China dulu, memang melewati Tiananmen Square.
Tak seperti Tiananmen Square, masuk Forbidden City berbayar senilai 60 yuan. Tiket sudah aman di tangan. Mengantre sebentar untuk giliran masuk.
Kota Terlarang ini sangat luas. Mungkin dulu Pu Yi kecil tak pernah bosan menjelajahinya. Pu Yi -kaisar terakhir China- didapuk menjadi kaisar semenjak umur 2 tahun. Menurut sejarah, dia berkuasa penuh dari 1908 hingga 1912, ketika akhirnya sistem Republik di bawah kepemimpinan Yuan Shikai muncul. Pu Yi tetap bergelar kaisar, tapi hanya sebagai simbol sementara China telah berubah menjadi republik. Dia pun “dikurung” di dalam Kota Terlarang ini.
Tahun 1917, terjadi upaya mengembalikan kekaisaran di China. Berhasil, selama 13 hari. Pu Yi pun kembali menjadi kaisar dari 1 Juli hingga 12 Juli 1917. Gelombang penolakan restorasi kekaisaran terlampau besar. China kembali ke sistem republik. Upaya gagal ini membuat Pu Yi kehilangan gelar kekaisarannya dan akhirnya menjadi warga biasa.
Saya perlu sedikitnya satu jam menelusuri Forbidden City dari pintu masuk hingga gerbang keluar. Perlu waktu berjam-jam untuk benar-benar menikmati peninggalan zaman kekaisaran ini. Bangunan bergaya China kunonya tak ternilai. Sayang, waktu saya terbatas.
Jam 10, saya sudah di pintu keluar. Pas jadwal. Dari pintu cellar, ada bis yang menorah ke tu juan saya, yakni stasiun subway Qianmen. Dari stasiun itu, saya  akan ke stasiun Dongzhimen untuk kemudian naik bis nomor 936 menuju Mutianyu. Itu rute dari hasil berselancar di dunia maya.
Tantangan subway lewat. Keluar dari stasiun, bertanya kanan kiri, kutemukan juga tempat mangkal bis berbekal tulisan dari resepsionis yang kurang lebih artinya, “Saya ingin ke Mutianyu naik bis nomer 936. Saya bisa menunggu bis itu di mana? Terimakasih”. 
Setelah beberapa kali bertanya, sampailah saya  di tempat seharusnya bis 936 berada. Namun, tak ada tanda-tanda bis itu. Saya menunjukkan kertas yang kubawa kepada satpam. Dia hanya menggoyangkan tapak tangannya. 
Gawat, kupikir, jangan-jangan bi situ sudah tidak ada. Aku berbalik ke arah sebelumnya, mencoba sekali lagi bertanya. Orang terakhir juga menggoyangkan tangannya dan malah menunjuk ke sebuah taksi, menyuruhku menggunakan taksi. Tak mungkin karena itu akan sangat mahal.
Aku bersiap untuk rencana cadangan, naik bis nomor 916 ke Mingzhu square dan lanjut dengan minibus. Ini juga hail bertanya ke Mbah Gugel.
Bis nomor 916 lebih mudah didapat, tentunya setelah bertanya dengan modal tulisan Mingzhu square dalam Kanji yg saya simpan dalam telepon. Seorang penumpang wanita membantu kali itu untuk bertanya kepada sopir bahwa saya bisa turun di Mingzhu square. Dia juga memberitahu saya saat bis sampai di tujuan, setelah sekitar satu jam perjalanan.
Turun dari bis, saya melongok kanan kiri. Tapi, jangankan yang menuju Mutianyu, tak ada satupun minibus yang terlihat. Dalam bayangan saya waktu itu, minibus ini tentunya semacam angkutan regular yang bisa membawa kita hingga ke Mutianyu. Namun, kenyataan bahwa tak ada satu pun minibus di sana, membuat saya berpikir jangan-jangan minibus itu adalah kendaraan sewaan.
Saya mencoba mencari orang yang kira-kira bisa menunjukkan arah. Tak jauh, ada petugas penjaga gedung yang terlihat seperti sekolah. Saya menghampirinya dan menunjukkan tulisan Mutianyu dalam huruf China yang saya peroleh dari mesin pencari internet. Dia mencoba menjelaskan tapi kemudian menyerah dan memanggil seorang murid yang kebetulan akan masuk ke gerbang.
Dari ekspresinya, saya tahu si murid laki-laki tak tahu jalur ke Mutianyu. Dia bisa berbahasa Inggris, sedikit. Menyerah, dia pun memanggil teman perempuannya, yang bisa berbahasa Inggris lebih baik.
Anak-anak sekolah menengah atas ini baik. Si murid perempuan ini, yang kemudian saya bernama Li Ziyang, menelepon pamannya untuk bertanya cara ke Mutianyu. Dia kemudian berkata bahwa pamannya bisa mengantar saya ke sana.
Tak berapa lama si paman sampai. Aku bertanya, tentunya melalui Ziyang, berapa biaya hingga ke Mutianyu. Dia bilang 80 yuan. Itu melebihi anggaran. Saya harus cukup saklek kali ini, karena dana suddar terserap ke tiket dan akomodasi.
Waktu sudah lewat tengah hari, hampir jam 13.30. Saya harus cepat, jika tidak ingin kemalaman di untuk kembali ke kota. Saya coba menawar, seandainya si paman mau dengan hanya 50 yuan. Dia menolak.
Masih ada rute bis yang saya bisa coba, kata Ziyang. Saya harus menuju halte Yu Jia Yuan dan dari sana lanjut dengan bis lain ke Mutianyu.
Tak lama saya sampai di halte itu dan mencoba bertanya ke orang yang sedang menunggu bis juga. Dari isyarat-isyaratnya, saya harus menyeberang jalan dan naik dari halte di seberang untuk ke Mutianyu.
Oke Sampai di halte seberang, saya mencoba bertanya lagi. Beberapa mengoyangkan telapak tangannya, pertanda tidak tahu. Saya hampir putus asa, apalagi jam tangan sudah menunjuk setengah tiga.
Seseorang tiba-tiba menghampiri orang terakhir yang saya tanya. Mereka bercakap sebentar. Kemudian orang terse but  mengatakan dalam bahasa Inggris yang patah-patah bahwa orang yang menghampirinya bisa mengantar dengan mobil ke Mutianyu. Dia minta 50 yuan. Strategi tawar-menawar saya praktekkan lagi. Mentok di 40 yuan. Kupikir, okelah, yang penting sampai ke Great Wall. Dana juga kurasa cukup, dengan asumsi waktu pulang bisa menemukan bis 936 (ini juga rute menurut Mbah Gugel).
Perjalanan dari Yu Jia Yuan ke Mutianyu sekitar setengah jam. Si sopir mengantar hingga ke loket masuk. Saya meminta satu tiket kepada penjaga, tanpa cable car. Lokasi wisata ini menyediakan cable car, sehingga pengunjung tidak perlu berjalan kaki mendaki Great Wall Mutianyu ini. Tapi, saya harus tetap naik shuttle bus untuk menuju titik awal Mutianyu. 
Nah, tambahan biaya shuttle bus ini bikin berat hati karena dengan dana yang tersisa saya hanya bisa mengandalkan bis nomor 936. Saya sudah meragukan bis itu benar-benar ada. Sudahlah, jalani saja dulu.
Dari titik awal mendaki, perlu sekitar 1 jam, kata penjaga loket. Jalur Mutianyu ini sudah rapi. Pengunjung hanya perlu mengikuti jalur tangga untuk sampai ke atas. Jalurnya seperti jalur pendakian Gunung Gede via Cibodas, tapi tangganya dibuat dari semen. Tak terlalu berat, sehingga saya bisa sampai puncak dalam waktu 45 menit.
Menara 6, 8, 10 dan 13 saya telusuri. Tembok ini benar-benar panjang, berliku dan naik turun. Tak terbayang ngos-ngosan para penjaga menara dulu saat harus berpindah dari satu pos pantau ke pos pantau lainnya. 
Sayang, waktu itu mendung dan hujan rintik-rintik sehingga pemandangan mengular tembok ini tak banyak bisa saya abadikan. Mutianyu benar-benar sepi, hanya sedikit pengunjung yang ke bagian ini.  Di saat inilah fungsi timer di DSLR saya berguna. Sempat juga bertemu rombongan kecil pengunjung lain dan sempat minta tolong difoto. Eh, FYI ya, waktu itu tongsis belum populer.

Dari menara 13, saya bisa menuju ke menara 15 yang katanya tempat syuting sebuah film ternama. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 4 sore. Saya mempercepat langkah menuruni tangga dengan harapan masih bisa bertemu bisa 936 -yang menurut tulisan di entah blog siapa- lewat terakhir pada pukul 5 sore.
Tentunya saya mempersiapkan rencana b: menumpang kendaraan pengunjung atau backpacker lain untuk kembali ke Yu Jia Yuan. Tapi kan, Mutianyu sepi.
Saat turun lagi dari shuttle bus, saya lihat seorang bule sendiri. Saya menghampirinya dan mencoba bertanya apa dia tahu lokasi menunggu bis nomor 936. Dia menjawab dalam bahasa yang tak saya mengerti. Dia tidak bisa bahasa Inggris! Dari logat yang dia ucap, saya mencoba menebak “Russia”. Dia mengangguk.  Oh no!
Saat kami berteduh, seorang China menawarkan minibus-nya untuk membawa kami ke halte terdekat  di mana kami bisa naik bis untuk kembali ke Beijing. Si Rusia bisa berbahasa China, jadi dia yang tawar-menawar.
Saya menuliskan sebuah kalimat di telepon seluler dan menunjukkan ke orang Rusia itu, yang kemudian saya ketahui bernama Alex Kaimakoff -tapi boleh dipanggil Vladimir. Saya matan saya tidak punya cukup dana kalau harus menyewa minibus. Jadi, saya memilih untuk naik bus 936, yang hingga saat itu tak kunjung muncul.
Vladimir kemudian mengatakan dia punya uang untuk menyewa minibus itu. Hari  sudah semakin sore dan hujan berubah dari rintik menjadi deras. Saya setuju dan bilang saya akan mengganti bagian saya yang dia talangi untuk menyewa mobil setelah kami kembali ke Beijing dan saya bisa mengambil uang deposit yang tertahan di hotel. Dia menolak.
Dalam setengah jam, kami sampai di halte terdekat dan sopir minibus menunjukkan halte di mana kami bisa menunggu angkutan untuk menuju Dongzhimen. Aman, kalau untuk naik bus ini saya tidak perlu ngutang ke Vladimir.
Rute Dongzhimen ke Beijing ini saya lewati tadi siang, kata saya pada Vladimir. Jadi, kami tinggal turun di terminal dan melanjutkan naik subway dari stasiun Dongzhimen ke tujuan kami. Setelah sekitar satu jam, kami sampai di Dongzhimen dan langsung menuju stasiun kereta bawah tanah.
Tak lama kereta datang. Subway ini mengitari Beijing dan ada beberapa rute transit untuk berpindah jalur. Saya akan turun di Qianmen sementara Vladimir harus turun lebih dulu di stasiun Chaoyangmen. Terimakasih Vladimir. Kalau ada waktu ke Jakarta, saya akan balas budi.

Saya sampai kembali ke hotel jam 9 malam. Misi selesai!

Comments

Popular Posts